Lampung Selatan (LW): Isu pengungsi adalah isu global yang membutuhkan kerjasama internasional. Menerima pengungsi bisa menjadi kontribusi bagi upaya global dalam menanggapi krisis kemanusiaan.
Hal ini disampaikan Anggota DPR RI Dapil Lampung Taufik Basari saat melaksanakan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Rejo Mulyo, Tanjung Bintang, Lampung Selatan (21/11).
Menurut Taufik, menerima pengungsi adalah tindakan kemanusiaan yang dapat membantu orang-orang yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Solidaritas dan empati terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh pengungsi Rohingnya dapat menjadi dasar untuk mendukung penyelamatan dan pemulihan hidup mereka.
“Kehidupan sehari-hari yang sulit adalah pertimbangan yang penting. Menerima pengungsi dapat membawa tantangan ekonomi dan sosial, dan hal ini harus dipahami dan dikelola secara bijaksana oleh pemerintah dan masyarakat setempat,” ucap Taufik.
Bantuan dan dukungan dari pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat umum, menurut Taufik dapat membantu mengatasi beban yang timbul akibat penerimaan pengungsi. Program-program bantuan dan integrasi yang efektif dapat membantu mengatasi tantangan tersebut.
“Selain itu, membangun pemahaman dan dialog yang lebih baik di antara masyarakat dapat membantu mengatasi ketakutan atau ketidakpastian yang mungkin timbul. Pendidikan tentang pengungsi, hak asasi manusia, dan keragaman budaya dapat berperan penting dalam membangun kesadaran dan dukungan,” jelasnya.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dapat membantu membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama terhadap pengungsi yang diterima. Tentu saja, kebijakan penerimaan pengungsi haruslah diambil dengan mempertimbangkan situasi spesifik di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
“Adalah normal untuk memiliki kekhawatiran atau kebutuhan di tingkat lokal, dan penting untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat. Penerimaan pengungsi seharusnya melibatkan kerjasama dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat setempat, dan lembaga-lembaga kemanusiaan,” ucapnya.
Pada umumnya, tambah dia, intervensi langsung dalam urusan internal sebuah negara menjadi masalah sensitif dalam hubungan internasional, dan setiap negara memiliki kebijakan luar negeri dan prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain. Terkait krisis kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk situasi warga Rohingya di Myanmar, ASEAN cenderung mengambil pendekatan non-intervensionis berdasarkan prinsip “non-campur tangan dalam urusan dalam negeri” yang termaktub dalam Piagam ASEAN.
Meskipun demikian, ASEAN dapat berupaya untuk memediasi dan memfasilitasi dialog antara pihak-pihak yang terlibat. Pada beberapa kesempatan, ASEAN telah mengeluarkan pernyataan kekhawatiran dan mengajukan pendekatan diplomatis untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Namun, upaya-upaya ini tidak selalu menghasilkan perubahan yang signifikan di lapangan.
“Setiap tindakan atau keputusan ASEAN juga bergantung pada persetujuan bersama dari seluruh anggotanya, dan tidak selalu mudah untuk mencapai kesepakatan di antara negara-negara anggota yang memiliki berbagai kepentingan dan pandangan politik,” kata dia.
Intervensi atau campur tangan dalam konflik atau urusan dalam negeri suatu negara harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat dan mematuhi norma-norma hukum internasional. Pemahaman yang mendalam terhadap dinamika politik dan sosial di Myanmar serta kesejahteraan rakyatnya sangat penting dalam mencari solusi yang berkelanjutan terhadap krisis tersebut. (*)