Taufik Basari Terangkan Fungsi MPR dan DPD RI ke Masyarakat Enggal

Bandarlampung (LW): Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki gagasan yang sama soal amandemen, yakni perlu didorong karena perkembangan zaman menuntut adanya perubahan.

“Perlu saya jelaskan di sini bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah lembaga yang anggotanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Keputusan yang diambil oleh MPR RI itu sempat dijadikan sebuah keputusan tertinggi dalam tata hukum negara kita, yang dikenal dengan TAP atau Ketetapan MPR RI. Salah satu keputusan terbesar dalam sejarah adalah MPR mampu memilih Presiden,” jelas Anggota DPR RI Dapil Lampung Taufik Basari saat melaksanakan sosialisasi Empat Pilar di Kecamatan Enggal (20/12).

Hal ini, menurut Taufik, sempat dilakukan pada awal masa reformasi, diantaranya saat memilih Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden. Secara praktis Presiden pertama yang dipilih secara langsung adalah Soesilo Bambang Yudhoyono.

Namun, amandemen UUD 1945 periode 1999-2002 telah menetapkan bahwa demokrasi menjadi ruh semangat konstitusi kita. Dengan adanya perubahan tersebut, iklim demokrasi kita tampak dari adanya sistem pemilihan umum bersifat terbuka seperti sekarang ini.

“Ilustrasi yang saya sampaikan tersebut adalah salah satu contoh bahwa amandemen UUD 1945 dapat berdampak sangat signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu menurut hemat saya amandemen UUD 1945 haruslah dilakukan atas adanya kebutuhan bangsa, bukan segelintir golongan atau elite saja. Proses riset dan perumusannya pun membutuhkan waktu, serta keterlibatan berbagai stakeholders yang tidak boleh kaleng-kaleng karena dampaknya sangat sangat fundamental bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara ke depan,” jelas Taufik.

Secara fraksi, menurutnya, Partai NasDem telah mengemukakan pendapatnya soal wacana amandemen UUD 1945 ini. “Kami menyetujui dengan catatan amandemen dilakukan secara terbatas dan harus mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia. Tadi saya sampaikan sedikit bahwa apa yang didorong oleh MPR RI adalah amandemen berupa adanya arah jalan kebijakan bangsa yang melampaui lima tahun,” ucapnya.

Mirip seperti GBHN di era Orde Baru. Namun MPR menyebutnya dengan istilah PPHN atau Pokok-Pokok Haluan Negara. “Menurut saya pribadi ini adalah gagasan konkret yang menengahi permasalahan sistemik Indonesia, yakni kebijakan presiden yang satu dengan yang lain seringkali tidak sejalan, hanya terbatas per-lima tahun,” terangnya.

Dengan adanya satu arah kebijakan bangsa yang jelas dan diturunkan dengan detail, serta memungkinkan adanya perubahan yang dinamis tentunya akan lebih memudahkan para pemimpin bangsa untuk membuatkan program kementerian/lembaga yang searah tujuan tersebut. “Kita ambil contoh saja soal sektor pendidikan. Kita telah memiliki visi, yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan pengaturan di Pasal 31 ayat (2) Bab XIII UUD 1945 yang mengatur bahwa pemerintah harus mengupayakan adanya “satu sistem pengajaran nasional”, namun konkretnya bagaimana? Itulah yang harus diejawantahkan kembali dalam PPHN,” tegasnya.

Menurut Taufik, harus ada panduan bagi siapapun pemerintahan berkuasa untuk menjalankan rumusan yang ada di UUD tersebut secara terarah. Amandemen ini diperbolehkan secara konstitusional dengan syarat setidaknya disetujui oleh 2/3 anggota MPR RI yang hadir. “Namun melampaui itu, amandemen ya harus dikembalikan pada ruhnya yang tadi saya bilang itu. Semangat amandemen ya untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, amandemen tidak boleh diperuntukan semata hanya untuk meninggalkan legacy saja,” tutupnya. (*/LW)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *