Bandarlampung (LW): Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memiliki tugas dan fungsi sebagai sebuah badan yang mewakili rakyat. Selain itu, DPR juga memiliki beberapa hak yang salah satunya ialah hak angket.
Hak angket itu dapat dikatakan sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
suatu dugaan adanya pertentangan dalam pelaksanaan undang-undang/kebijakan
pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat.
Hal ini dijelaskan Anggota DPR RI Dapil Lampung Taufik Basari saat melaksanakan sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Rajabasa, Bandar Lampung (18/5).
“Dalam konteks Pemilu 2024 yang sedang kita bicarakan ini, kita sendiri pun bisa menilai bahwa dalam praktiknya memang terdapat “kelompok-kelompok” yang
mempertontonkan adanya pertentangan dalam pelaksanaan Undang-Undang
tersebut. Sehingga dengan adanya hak angket di DPR ini, saya merasa kita bisa
sama-sama mengawal dan memastikan agar hal tersebut tidak dibiarkan begitu saja,” jelas Taufik.
Oleh karena itu, hak angket secara konstitusional merupakan alat yang sah
dalam melihat suatu dugaan ketidaknormalan yang terjadi pada pemilu 2024 tersebut.
“Lalu bagaimana caranya untuk mengatasi perpecahan di masyarakat akibat pengajuan hak angket di DPR tersebut? sebenarnya kita harus sama-sama sepakat bahwa kita tidak menafikan hasil dari pemilu 2024 yang telah berjalan, tetapi sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum, sudah sepatutnya
kita perlu melawan tindakan-tindakan yang diduga sebagai sebuah pelanggaran
dan kecurangan,” terangnya.
Oleh karena itu, persoalan hak angket ini harus diluruskan di tengah-tengah masyarakat yang mana bukan bertujuan untuk menolak hasil pemilu 2024 tetapi sebagai alat investigasi terhadap dugaan kecurangan yang terjadi semasa pemilu 2024.
Selain permasalahan hak angket, sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang digelar hari ini juga membahas soal keterlibatan anak dalam kriminalitas. “Mungkin kita mulai dengan
membicarakan beberapa faktor yang melandasi anak-anak di bawah umur dapat
terjerumus ke dalam kasus kejahatan seperti pembegalan. Seperti yang teman-teman tahu, kita telah melewati masa-masa sulit di saat pandemi Covid-19 yang melanda tanah air kita tercinta, dan saat itu banyak sekali
dampak yang ditimbulkan seperti kondisi perekonomian yang anjlok dan phk
massal di tengah-tengah masyarakat. Lalu bagaimana korelasinya dengan tingkat
kejahatan seperti kasus begal dapat meningkat? tentu kita paham sulitnya
bertahan hidup di masa Covid-19 khususnya bagi masyarakat kelas menengah
ke bawah,” urainya.
Mereka, lanjut Taufik, seakan-akan mengupayakan segala cara untuk bisa
mendapatkan pundi-pundi rupiah tak terkecuali dengan jalan yang tidak baik
seperti pembegalan tersebut yang bahkan memang tak jarang dilakukan oleh
anak-anak di bawah umur.
“Namun, apakah hanya karena faktor ekonomi saja pembegalan yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi? tentu tidak, karena kebanyakan anak di bawah umur atau katakanlah remaja ‘nanggung’ yang sering kali melakukan aksi pembegalan hanya sekadar melakukannya untuk mengasah nyali dalam pencarian jati diri mereka,” kata dia.
Sebenarnya dalam menanggapi fenomena ini, tambah Taufik, kita harus jujur
bahwasannya sistem penegakan hukum dan hukum itu sendiri masih kurang ideal dalam menanggapi kasus-kasus kejahatan yang semakin berkembang hingga menyasar kepada anak-anak di bawah umur yang berperan sebagai pelaku. Dalam konteks yang sedang sama-sama kita bicarakan ini, terdapat beberapa hal yang menyebabkan kondisi hukum seakan tidak terimplementasi
dengan baik.
Pertama, karena edukasi dan sosialisasi mengenai peraturan-peraturan hukum kepada anak-anak di bawah umur masih sangat minim sehingga pemaknaan mereka terhadap hukum yang berlaku pun juga
masih samar-samar. Oleh sebab itu perlu adanya sosialisasi menyeluruh terhadap
pemaknaan hukum bagi diri setiap anak, entah itu lewat sekolah-sekolah ataupun
narasi yang diterbitkan lewat platform online dan digerakkan secara masif.
“Kedua, masalah kejahatan seperti pembegalan yang dilakukan oleh anak di
bawah umur pada dasarnya dapat dikatakan sebagai kasus yang disebabkan oleh
faktor struktural yang kompleks. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah mengatasi penyebab dari penyelewengan tindakan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur tersebut, misalnya dengan memfasilitasi wadah pencarian jati diri yang positif bagi anak-anak remaja,” jelasnya.
Sehingga, dengan menghadirkan kualitas anak-anak yang berasal dari kegiatan-kegiatan positif tersebut, sudah barang tentu mereka akan lebih
“melek” dalam menilai sesuatu yang baik dan buruk dan tentunya akan jauh
lebih menghargai hukum yang berlaku.
“Terakhir, dengan pertanyaan yang sudah disampaikan tersebut, saya sebagai Wakil Badan Sosialisasi MPR RI merasa ‘tercolek’ dan merasa memiliki pekerjaan rumah yang masih cukup banyak untuk menghadirkan masyarakat yang teredukasi dan tersosialisasi dengan baik dalam hal pemaknaan mereka terhadap nilai-nilai yang menjadi landasan hidup bersosial dan bernegara. Untuk itu, saya akan terus berusaha untuk menjalankan amanah dan tugas-tugas yang telah diberikan di sisa masa jabatan saya,” tandasnya. (LW)