Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diprioritaskan pemerintah sebagai sumber produksi pertanian nasional. Tentu hal ini bukan wacana baru bagi kita, setidaknya program yang dikatakan sebagai program prioritas pemerintah ini telah di galakkan sejak zaman orde baru. Kita masih melihat adanya bendungan penengahan 1 dan bendungan asahan 1 yang ditinggalkan Presiden Soeharto sebagai bukti perhatian pemerintah kala itu.
Namun sayangnya retorika diatas hanya indah dalam bayangan, bahkan diatas kertas pun, hasil pertanian Lampung sangat mengkhawatirkan. Total produksi padi di Provinsi Lampung pada tahun 2019 sebesar 2,16 juta ton gabah kering giling (GKG), atau mengalami penurunan sebanyak 0,32 juta ton atau 13,04 persen dibandingkan tahun 2018. Jika dibandingkan antarbulan, penurunan produksi terbesar terjadi pada Januari 2019 sebesar 0,07 juta ton.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung Faizal Anwar mengatakan, produksi tertinggi pada 2019 terjadi pada April sebesar 0,56 juta ton dan produksi terendah terjadi pada Januari 2019 sebesar 0,04 juta ton. “Produksi padi tertingi pada 2018 bulan April sebesar 0,55 juta ton, produksi terendah pada Desember sebesar 0,06 juta ton,” terang Faizal Anwar di media Republika.co.id, Rabu (4/3/2020).
Keindahan retorika ini dipertajam dengan hadirnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengatakan akan memprioritaskan Lampung sebagai percontohan nasional untuk program pertanian dan menjanjikan program percontohan pertanian terintegrasi di Lampung dengan lahan 50 ribu hektare.
Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, dimana peran Pemerintah Daerah dalam hal ini?
Pemerintah Provinsi Lampung menyadari bahwa masih terdapat persoalan yang kerap merugikan petani diantaranya ; proyek tender bibit, mafia bantuan kepada gabungan kelompok tani, pupuk langka, hingga kebutuhan air dan stabilitas harga pertanian.
Sebagai solusi permasalahan diatas pemerintah daerah Lampung mengeluarkan Program Kartu Petani Berjaya (PKPB), dimana PKPB ini dapat diakses langsung oleh petani melalui aplikasi yang hadir di ponselnya secara daring sebagai informasi publik.
Sampai disini tentu para pembaca telah menemukan bagaimana keindahan pertanian kita sebagai retorika atau fiksi. Sekarang sebagai seorang petani berdasi, saya akan merinci fakta-fakta yang mengkhawatirkan.
1. Para pemangku jabatan publik banyak yang melupakan bahwa saat ini para petani di Indonesia secara umum dan petani di Lampung secara khusus didominasi oleh kalangan tua (umur 40 tahun keatas), dimana dalam hal pengunaan gadget bisa dikategorikan sebagai kaum yang buta modernisasi, lantas seberapa efektif program PKPB tersebut bisa berjalan, apalagi harus diakses melalui smartphone.
2. Kehadiran bidang pekerjaan lain yang lebih mudah diakses dan menguntungkan seperti karyawan mini market, dan menjadi ojek online menjadi pilihan utama bagi anak para petani, ketimbang meneruskan bertani seperti orang tuanya. Hal ini terjadi karena harga pupuk, racun hama, dan bibit unggul yang mahal, membuat petani justru menambah hutang ketika panen, bukan malah mendapat keuntungan. Ini merupakan permasalahan yang kita ketahui sejak lama, dan penyelesaiannya hanya berupa retorika semata.
3. Kelangkaan kacang kedelai yang baru-baru ini terjadi, membuat kehebohan dimedia. Padahal para petani di Lampung sudah berhenti menanam kacang kedelai paling tidak hampir 10 tahun kebelakang. Mengapa? karena pemeliharaan yang butuh dana ekstra, serta harga jual yang lebih tinggi dibanding produk import. Ini membuat banyak petani kedelai beralih menanam jagung yang perawatannya lebih sederhana. Padahal itu baru di satu sektor, sementara kenyatannya banyak sektor pertanian lain yang sudah ditinggalkan karena persaingan liar seliar liarnya antara petani lokal dan importir komoditi tentu tidak bisa dimenangkan oleh petani lokal. Sekali lagi hal ini sudah kita ketahui sejak lama, dan penyelesaiannya adalah retorika indah diatas kertas tanpa implementasi mendasar.
4. Profesi petani yang dianggap rendah bagi sebagai kalangan muda, membuat hampir tidak ada sarjana pertanian yang terjun keladang pertanian. Yang cukup mengejutkan bagi kita justru banyaknya sarjana pertanian yang bekerja di sektor perbankan dan para sarjana ekonomi justru menganggur. Setidaknya hal ini pernah menjadi sindiran Presiden Joko Widodo pada Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) ke-54 di Bogor, Rabu (06/09/2017). Mengapa hal ini terjadi? karena, sekali lagi modernisasi teknologi pertanian hanya merupakan retorika belaka tanpa implementasi mendasar.
Saya bisa menjabarkan puluhan poin lagi tentang keindahan fiksi pertanian kita, namun saya yakin para pembaca terutama para petani sudah sangat jenuh melihat keresahan yang saya sampaikan.
Lantas bagaimana solusinya?
Solusi mendasar adalah penerapan regulasi terkait persaingan petani lokal dan para importir komoditi. Jika diterapkan regulasi bahwa pengunaan komoditi import hanya diperuntukan bagi pengolahan industri maka harga bahan komoditi konsumsi akan terjaga dab petani lebih sejahtera. Kita melihat dalam kelangkaan produk kedelai kemarin, harga kedelai import masih berkisar Rp. 9.000an/kg dan harga kedelai lokal Rp. 14.000an/kg. Mengapa hal ini terjadi? ada contoh kasus bahwa ada produk kedelai import yang masuk ke indonesia bukan mengunakan ijin komoditi industri melainkan pakan ternak. Ini salah satu bentuk kelalaian regulasi yang perlu diluruskan.
Kemudian, kehadiran pemerintah dalam menjamin masa depan para petani muda, dan memberikan akses pertanian modern. Hal ini mungkin terdengar seperti retorika juga, namun diberbagai negara tetangga seperti malaysia dan thailand retorika ini dapat diimplementasikan dan berhasil mencetak para petani muda modern yang kaya raya, sehingga mengugah banyak kaum muda lainnya untuk berprofesi sebagai petani, dan saya kira jika memang kita serius membenahi pertanian Indonesia, maka ini bukan suatu hal yang mustahil.
Faktor lain adalah penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) di petani, sehingga persentase harga pasar komoditi pertanian akan berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani, bukan justru berbanding lurus pada kesejahteraan para ijon/mafia produk pertanian yang biasa memonopoli barang tani dan menahan laju produk di pasar.
Baru kemudian subsidi terhadap pupuk, bibit unggul, dan racun hama dengan mengaktifkan koperasi petani, serta pengawalan subsidi agar sampai ditangan petani, bukan justru menjadi permainan korupsi para oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Semoga tulisan ini bisa menjadi oase terhadap harapan kita terkait jaya nya pertanian di Indonesia, tidak lagi indah dalam fiksi namun mensejahterakan dalam implementasi.
_Oleh : I Made Suarjaya_
_Penulis merupakan Anggota DPRD Provinsi Lampung, berprofesi asli sebagai petani asal Lampung Tengah yang akrab di panggil Cah Angon._