Isbedy Baca Puisi ‘Biografi Kecilnya’ di Taman Budaya Lampung

Bandarlampung (LW): Setelah 15 tahun tak tampil tunggal di daerah kelahirannya, Isbedy Stiawan ZS kembali manggung, di Taman Budaya Lampung, Jumat 18 Oktober 2024 pukul 10.10 WIB.

Pada 1999 di tempat sama, Isbedy membacakan puisi-puisi kritiknya pada rezim Orba, lewat manuskrip Negeri Sepatu. Kali ini ia bawakan satu puisi panjang, “Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian”, dari buku Ketika Aku Pulang.

Ditemui usai membaca puisi, penyair yang dijuluki Paus Sastra Lampung oleh HB Jassin ini, menjelaskan bahwa puisi-puisi dalam bukunya yang terbit 2022 sebagai biografi kecil dirinya di kampung kelahiran bernama Rawa Subur (kini masuk Kelurahan Enggal, Kecamatan Enggal, Bandar Lampung).

Dari sinopsis dalam buku panduan Pekan Kebudayaan Daerah, menyebutkan, Rawa Subur adalah nama dusun (desa) di Kelurahan Enggal, Kecamatan Enggal, Kota Bandar Lampung.

Rawa Subur merupakan tanah kelahiran penyair asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS. Di daerah ini juga ia dibesarkan dalam lingkungan terbilang keras. Dulu kala, daerah ini dikenal sebagai kawasan “penuh kekerasan”.

Lingkungan yang keras itu Membentuk Isbedy Stiawan ZS selanjutnya. Melalui buku Ketika Aku Pulang semacam biografi kecil Isbedy. Ditulis saat ia berusia 60 tahun, lalu masih adakah masa lalu itu?

Sekira 15 menit, Isbedy membacakan puisi panjangnya itu. Usia sastrawan Lampung ini sudah tak muda lagi, namun energi saat di panggung tak tampak bahwa dia sudah berusia 66 tahun pada 5 Juni 2024 lalu.

Vokalnya masih jelas. Kadang mendayu, pada waktu lain suaranya menggelegar kala membaca baris-baris puisi “Rawa Subur, 60 Tahun Kemudian”.

“Pembacaannya berkesan, intonasi tak berkurang,” komentar pengunjung.

Penampilan tunggal Isbedy Stiawan ZS disaksikan Kepala Taman Budaya Lampung, Ingga Setiawati, yang diakhiri pembacaan puisi diberi kenangan puisi “Di Atas Kuburmu Di Kamar Sepiku” dan foto Isbedy dari Pendiri Komunitas Penulis Muda Lampung, Anggi Farhans.

Keluarga sastrawan Lampung inj juga hadir, seorang adik perempuannya, Upik Syamsiar, dan cucu pertama yang juga merintis dunia sastra, Zahra Putri Balqis.

“Adik saya saksi hidup ihwal Rawa Subur dan masa kanak-kanak saya hingga remaja,” jelas Isbedy.

Ia menambahkan, di masa anak-anak hingga remaja kampung kelahirannya itu dikenal sebagai kawasan “hitam” dan penuh kekerasan. Saat penembak misterius (petrus), para preman di daerah itu ada yang menjadi korban.

“Saya salah satu warga yang menyaksikan kala ‘penjahat’ dicikok dari rumah. Sejak itu saya traumatik,” kenang Isbedy. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *