Bandarlampung (LW): Ketua Fraksi NasDem MPR RI Taufik Basari melaksanakan sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Pahoman, Enggal, Bandarlampung (13/9).
Dalam arahannya, Taufik mengatakan bahwa pemahaman negara tentang hak asasi manusia berkembang seiring dengan implementasi demokrasi dalam kehidupan bangsa. Hal paling signifikan dari bentuk konkret negara menjalankan sila ketiga Pancasila adalah adanya amandemen UUD 1945 pasca reformasi, tahun 1999-2002.
Pada saat amandemen kedua tahun 2000, norma hak asasi manusia dimasukkan ke dalam perubahan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, yakni dengan menambahkan Bab XA tentang HAM yang terdiri atas Pasal 28A-28J.
“Dengan dimasukannya satu bab khusus soal HAM, maka secara tegas hak asasi manusia diakui sebagai hak konstitusional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucapnya.
Tidak hanya Bab HAM, namun dalam amandemen UUD 1945 dalam rentang tahun 1999-2002 tersebut juga mengubah beberapa pasal yang mendukung pemajuan HAM, diantaranya Pasal 31 tentang hak atas pendidikan, Pasal 32 tentang pengakuan dan pemenuhan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, Pasal 34 tentang pemenuhan hak atas jaminan sosial dan kesehatan.
“Mengapa amandemen UUD 1945 ini dilakukan? Ini penting diketahui. Pada pembentukan UUD 1945 tersebut, secara internasional belum diakui adanya satu instrumen universal yang mengatur soal hak-hak dan kewajiban negara. Baru pada tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan satu dokumen khusus yang menjadi rujukan dunia internasional dalam menerapkan HAM di pemerintahannya, yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM,” jelas Taufik.
Pembaharuan UUD 1945 dengan nilai-nilai yang terdapat di DUHAM dan berbagai konvensi internasional tentang HAM lainnya merupakan bukti negara menerapkan Pancasila, khususnya terkait pemajuan dan perlindungan HAM.
Lanjut Taufik, benar bahwasanya hingga saat ini belum ada satu pun pengadilan HAM yang dinilai berhasil memberikan rasa keadilan dan kebenaran untuk korban.
“Indonesia pernah menggelar pengadilan HAM untuk kasus Tanjung Priok dan Abepura, Papua pada masa-masa awal transisi pemerintahan yang menunjung tinggi demokrasi, yakni pada tahun 2003 dan 2004,” kata dia.
Lanjut Taufik, pemerintah juga pernah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 jo Keppres No. 96 Tahun 2001 menjadi dasar pembentukan pengadilan HAM dalam lingkup Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 2005. Secara teoritik, prinsip-prinsip keadilan itu sendiri merupakan subjek dari kontrak sosial.
“Salah satu tokoh ternama yang mengkonseptualisasikan prinsip keadilan, Jown Rawls mengatakan bahwa keadilan berpijak pada dua hal, yakni setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan (termasuk di dalamnya berbagai bentuk kebebasan, seperti kebebasan berekspresi, bebas dari rasa takut dan penyiksaan, dll) dan adanya ketimpangan sosial ekonomi perlu ditata sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar bagi kelompok yang paling lemah,” terang Anggota DPR RI Dapil Lampung ini.
Dalam kasus pelanggaran HAM, pihak yang paling lemah adalah rakyat dan pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan keadilan, kebenaran, pemulihan dan memastikan adanya jaminan terhadap ketidakberulangan atas kejahatan yang sama adalah pemerintah.
Maka dari itu, ketika dua pelanggaran HAM berat telah diadili melalui pengadilan HAM ad hoc namun tidak dapat memberikan hak korban demikian, pemerintah wajib mencarikan alternatif penuntasan kasus lainnya. Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM diakui dua jalur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, yakni melalui jalur yudisial atau pengadilan dan non-yudisial, seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau format penyelesaian lainnnya.
Sejak reformasi hingga saat ini bukan berarti pemerintah diam untuk kasus pelanggaran HAM. Pemerintah Indonesia telah melakukan sebuah upaya penyelesaian kasus dalam bentuk KKR di Aceh. Telah dibentuk sebuah komite khusus yang mendata para korban, melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku, serta memberikan berbagai bentuk pemulihan melalui skema KKR Aceh. Ini harus dihitung sebagai suatu bentuk komitmen negara menghadirkan tidak saja kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi juga upaya memberikan keadilan sosial khususnya bagi masyarakat korban pelanggaran HAM berat di Aceh.
“Kita harus dapat terbuka menerima dua alternatif penyelesaian kasus yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tersebut dengan satu syarat, yakni tidak saling menegasikan. Jalur yudisial dan non-yudisial bersifat komplementer, bukan subtitutif (menggantikan satu dengan lainnya,red),” pungkasnya. (*)