Minim Dokter Forensik, Komisi IV DPRD Kota Bandarlampung Soroti Kinerja RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo

“Satu Dokter Forensik untuk Seluruh Kasus Visum, Berapa Lama Lagi Keadilan Bisa Ditegakkan?”

Bandarlampung (LW): Kondisi tenaga medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. A. Dadi Tjokrodipo kembali tuai sorotan. Anggota Komisi IV DPRD Kota Bandarlampung, Dewi Mayang Suri Djausal, mengkritisi keterbatasan jumlah dokter forensik yang dinilai sangat menghambat proses hukum, khususnya dalam kasus kekerasan seksual.

Kepada media, Dewi Mayang menyampaikan keprihatinan mendalam atas hanya adanya satu orang dokter forensik di rumah sakit tersebut. Menurutnya, kondisi ini tidak hanya memperlambat proses visum, tetapi juga secara langsung berdampak pada lambatnya penanganan kasus hukum yang memerlukan bukti medis.

“Bayangkan, satu visum saja bisa menunggu berhari-hari. Bagaimana bisa cepat selesai jika setiap hari ada 5 hingga 10 laporan kasus yang masuk? Ini menyangkut keadilan bagi para korban,” tegas Ses Mayang -sapaan karibnya-, Rabu (14/5).

Ses Mayang juga menekankan bahwa keterlambatan dalam proses visum dapat menjadi hambatan besar dalam proses penegakan hukum. Apalagi dalam kasus-kasus pemerkosaan, di mana visum merupakan salah satu bukti utama yang dibutuhkan dalam penyelidikan dan proses pengadilan.

Ia meminta pemerintah Kota Bandarlampung segera melakukan evaluasi serius terhadap ketersediaan dan distribusi tenaga medis, terutama di bidang forensik. Tidak hanya itu, ia juga mendorong adanya penambahan tenaga medis wanita yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terkait pemeriksaan psikologis korban, terutama anak-anak.

“Korban pemerkosaan, apalagi anak-anak, butuh penanganan yang sensitif. Tenaga medis wanita sangat penting agar korban merasa lebih nyaman. Ini bukan hanya soal medis, tapi juga soal pemulihan trauma psikologis mereka,” lanjutnya.

Selain faktor sumber daya manusia, Ses Mayang juga menyoroti fasilitas fisik yang dimiliki rumah sakit. Ia menyarankan adanya pemisahan ruang antara pemeriksaan umum dan ruang pemeriksaan khusus untuk korban pemerkosaan. Hal ini, menurutnya, sangat penting untuk menjaga privasi dan kondisi psikologis korban serta keluarga.

“Korban butuh ruang yang aman dan nyaman. Saat ini mereka masih harus berada di ruang tunggu yang sama dengan pasien umum. Ini sangat tidak ideal, apalagi bagi anak-anak yang baru saja mengalami trauma berat,” ujarnya.

Ses Mayang juga menegaskan bahwa Komisi IV DPRD Kota Bandarlampung akan mendorong Pemerintah Kota untuk segera mengambil langkah konkret. Mulai dari pengadaan tenaga medis forensik tambahan, peningkatan fasilitas rumah sakit, hingga penyusunan kebijakan khusus yang melindungi dan mempermudah akses layanan bagi korban kekerasan seksual.

“Insyaallah ini akan kita dorong untuk dianggarkan. Harapan kami, hal ini bisa terealisasi,” ucap Anggota Fraksi Gerindra Bandarlampung ini.

Kini, tekanan publik berada di pundak manajemen RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo dan pemerintah daerah. Apakah seruan ini akan menjadi langkah awal perbaikan sistemik, atau justru kembali tenggelam di tengah rutinitas birokrasi?

Satu hal yang pasti, keadilan tak bisa menunggu. (LW)