Lampungway.com. Pengangkatan Jenazah Para Jenderal Pahlawan Revolusi Indonesia dari Lubang Buaya. Salah satu agenda paling penting setelah Gerakan 30 September 1965 adalah menemukan para jenderal yang diculik. Beberapa pasukan pun diperintahkan Soeharto melakukan penyisiran ke Lubang Buaya.
Letnan Satu Feisal Tanjung dan Letnan Dua Sintong Panjaitan, yang sedang berada di sekitar tempat itu bersama pasukannya, diperintahkan bergerak ke Lubang Buaya pada 3 Oktober 1965.
Sebelumnya, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mendapat kabar di situlah posisi para jenderal yang terculik. Informasi tersebut berdasarkan pengakuan Agen Polisi II Soekitman yang ikut terculik namun bisa kabur.
Kawasan itu pun disisir oleh anak buah Sintong bersama anak buah komandan peleton yang lain. Mereka lalu dapat informasi dari salah satu warga setempat tentang adanya sumur-sumur yang sudah ditimbun. Salah satu bekas sumur dicoba digali, tapi ternyata bukan.
Kemudian mereka melihat satu bekas sumur yang sudah ditanami pohon. Bekas sumur itu pun digali. Setelah anak buah Sintong menggali, tampak daun-daun segar, batang pisang, dan potongan kain.
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kain-kain itu adalah baju yang digunakan Batalyon 454/Banteng Raider. Penggalian lalu dilakukan. Melihat itu, penduduk pun menawarkan diri untuk ikut bantu menggali.
Pada kedalaman 8 meter, terciumlah bau busuk dan penduduk yang menggali meminta naik karena tidak tahan dan mengganggu pernapasan.
Salah seorang anak buah Sintong ikut turun dan melihat kaki manusia yang mencuat ke atas. Yakinlah pasukan elite itu bahwa di situlah jenazah para jenderal terculik berada (hlm. 130-131).
Operasi Pengangkatan Jenazah
Sintong kemudian melapor ke Feisal Tanjung. Feisal lalu melaporkan hal tersebut ke atasannya lagi. Sampailah laporan itu ke Mayor Jenderal Soeharto yang punya kuasa atas pasukan Kostrad dan bisa memerintahkan pasukan RPKAD lewat Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Soeharto, lewat Sarwo Edhi, lalu memerintahkan penggalian dihentikan dulu. Hari sudah pukul sepuluh malam.
Malam itu, Sintong dan pasukannya menginap dalam kegelapan Lubang Buaya. Mereka menanti hari esok untuk mengangkut semua yang ada di dalam sumur tua.
Berhubung bau busuk tercium dari bawah sumur, mau tidak mau tabung oksigen untuk penyelam harus dipakai. Kopral Anang, anggota RPKAD yang pernah dilatih menyelam oleh Komando Pasukan Katak (Kopaska) Angkatan Laut, pun dipanggil. Anang yang jadi pelatih selam RPKAD memberi informasi bahwa alat selam RPKAD berada di Cilacap.
Maka harapannya tertuju pada alat selam milik Korps Komando (KKO)—kini Korps Marinir—Angkatan Laut. Kapten Sukendar, perwira Zeni di Kostrad, lalu menghubungi Letnan Satu (KKO) Mispam Sutanto yang menjadi wakil komandan Kompi Intai Para Amfibi (Kipam) di markasnya di Kwitang. Mereka berdua lalu menuju Menteng, ke rumah Panglima KKO Mayor Jenderal Hartono.
Tanpa kerumitan, Hartono memberi izin peminjaman. Surat izin resmi dari Kostrad boleh menyusul. Alat selam yang berada di KRI Multatuli (561) pun boleh mereka bawa berdua. Setelah alat selam beres, mereka mengisi oksigen di Manggarai.
Sekitar pukul tiga dini hari 4 Oktober 1965, tepat hari ini 53 tahun lalu, Komandan Kipam Kapten KKO Winanto bersama delapan penyelam dan dua dokter (dr. Kho Tjio Ling dan drg. Sumarno) berangkat ke Lubang Buaya dengan truk Ziel bikinan Uni Sovyet. Tak lupa, generator listrik yang ditarik jip juga mereka bawa.
Rombongan ini, menurut Hendro Subroto (2009:133), sempat dicegah memasuki area Lubang Buaya. Pertama oleh Pasukan Gerak Tjepat, kedua oleh pasukan Sintong sendiri. Sekitar pukul setengah lima mereka sudah di Lubang Buaya (hlm. 133).
Menurut catatan Kuncoro Hadi dan kawan-kawan dalam Kronik ’65 (2017), rombongan Kipam diizinkan masuk ke lokasi ketika iring-iringan Mayor Jenderal Soeharto dan jenderal lainnya tiba. Para wartawan dari Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, RRI, dan TVRI juga ada di sana (hlm. 341).
“Saya sendiri menyaksikan pengangkatan jenazah-jenazah itu yang terdapat di dalam sumur yang sudah mati, ditimbuni dengan sampah, daun singkong dan tanah secara berselang-seling. Amat menyedihkan,” aku Soeharto dalam autobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 134).
Soeharto mengaku, pada tengah hari pukul 12.00 pengangkatan jenazah teratas dilakukan. Kopral Anang masuk lebih dulu pada pukul 12.05 dengan masker oksigen. Satu jenazah berhasil diikat. Setelah ditarik, ternyata Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pukul 12.15, Sersan Mayor (KKO) Saparimin turun masuk. Satu jenazah diikatnya, tapi sulit ditarik karena terjepit jenazah lainnya. Prajurit Komando I (KKO) Subektu pun turun. Dia mengikat jenazah satu lagi. Dua jenazah pun terangkat. Mereka adalah Mayor Jenderal Suwondo Parman dan Mayor Jenderal Suprapto.
Pukul 12.55, Kopral (KKO) Hartono turun. Dia mengikat secara terpisah dua jenazah. Setelah ditarik, ternyata dua jenazah itu adalah Mayor Jenderal M.T. Haryono dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Pukul 13.30, Sersan Mayor Suparimin turun lagi. Jenazah diikatnya. Setelah ditarik, ternyata Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Setelah dapat 5 perwira tinggi dari 6 yang hilang, para penyelam kelelahan. Bahkan ada anggota yang keracunan. Kapten Winanto pun turun tangan. Tak hanya dengan alat selam, tapi juga alat penerang dengan tenaga dari generator. Sampai di dalam, Winanto menemukan satu jenazah lagi. Itulah jenazah Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan. Maka semua jenderal pun terangkat.
Isu Penyiksaan Menyebar
Mulai sore tanggal 4 Oktober itu, menurut Omar Dani dalam memoarnya, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001), “TVRI sangatlah sibuk menyiarkan berita tentang penggalian jenazah para jenderal dari sumur tua yang oleh media massa dinamakan Lubang Buaya itu” (hlm. 93).
Kisah pengangkatan jenazah tersebut dibumbui dengan dramatis dan ditambahi cerita fantastis soal penyiksaan. Inilah yang menciptakan kebencian banyak pihak kepada mereka yang terlibat G30S, terutama kepada para anggota dan simpatisan PKI.
“Semua jenazah dalam keadaan rusak akibat penganiayaan,” kata Soeharto dalam autobiografinya (hlm. 134).
Cerita pun menyebar bahwa jenazah itu disilet-silet dan disiksa secara keji. Narasi soal jenazah yang disilet-silet, dicongkel mata, dan alat kemaluan dipotong adalah versi yang banyak dipercaya di zaman Orde Baru. Siapa saja yang tidak percaya, bisa dituduh tak punya hati dan pastinya kena cap PKI.
“Saya tahu bahwa di surat-surat kabar itu jenderal-jenderal itu disiksa, dianiaya segala. Disiksa apa itu. Dari sebab itu saya mau cari apa benar ada bukti-bukti itu atau nggak. Antara lain matanya dicukil segala. Nah waktu itu saya lihat kok nggak ada yang dicukil matanya?” aku dr. Liaw kepada Alfred Ticoalu dalam wawancara untuk Indoprogress.
Ketika Alfred bertanya, “Katanya mereka dapat siksaan. Ada yang matanya dicongkel keluar, digunakan pisau atau silet dipotong-potong badannya. Diberet-beret. Bahkan ada yang mengatakan sampai kemaluannya dipotong. Sesuai laporan yang saya baca ini nampaknya tidak ada hal-hal demikian?”, maka dr. Liaw bilang dengan tegas: “Nggak Ada.”
Alfred tak puas dan bertanya lagi, “Secara detil, bagaimana dengan hal pemotongan kemaluan?” dr. Liaw menegaskan kembali: “Nggak ada. Semua utuh.”
Sukarno sebenarnya berusaha melawan hoaks soal penyiksaan hingga pemotongan kelamin itu. Tapi publik hingga puluhan tahun sudah merasa nyaman dengan narasi soal ada alat kelamin yang dipotong dan lainnya.
Setelah diperiksa, para jenazah itu kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Lalu diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965.
Sumber : tirto.id