Bandarlampung (LW): Forum Diskusi Meja Panjang akan membahas buku puisi “Ketika Aku Pulang” karya Isbedy Stiawan ZS, di Gedung Ali Sadikin PDS HB Jassin, Jumat (23/06) pukul 14.00-16.30.
Selain Isbedy, dua pembicara akan membedah kumpulan puisi Isbedy yang bertema Rawa Subur sebagai “kampung kelahiran” penyair berjuluk Paus Sastra Lampung ini. Kedua pembicara/pembahas tersebut adalah Sihar Ramses Simatupang dan Arief Joko Wicaksono.
Acara ini digelar Forum Diskusi Meja Panjang Jakarta atas inisiasi sejumlah sastrawan Indonesia seperti Sunu Wasono, Remmy Novaris DM, Nanang R Supriyatin, dll.
“Diskusi buku saya ini, edisi kedua dari Forum Diskusi Meja Panjang, sebelumnya dihelat pada Mei 2023,” jelas Isbedy di Bandarlampung, Minggu (18/06).
Dijelaskan Isbedy, dia sangat bangga buku puisinya ini diapresiasi oleh Meja Panjang Jakarta. Sebelumnya di Universitas IBA Palembang yang meluncurkan.
“Saya berterima kasih karena buku puisi saya dan tentang Rawa Subur dikenal banyak orang justru di luar Lampung,” katanya.
Ditambahkan Isbedy, ini juga sebagai bentuk meramaikan kegiatan sastra di Lampung yang cenderung “meredup”. “Ya, belakangan ini kegiatan sastra di Lampung kan sedang sunyi senyap. Maka saya siap meriuhkan di luar saja,” ujar Isbedy lagi.
Sihar Ramses Simatupang untuk bahan pembahasannya mengatakan, Rawa Subur di buku puisi Isbedy Stiawan ZS bukan lagi peta lokasi. Sudah ruang dan waktu. Lokus dan tempus. Sekaligus sebuah peradaban. Sebuah kitab hidup. Perjalanan seorang Isbedy, ibu dan bapaknya juga orang-orang di sekitarnya hadir di sana.
“Saya salut pada cara Isbedy mengantar masuk ke alam puisinya. Cara mengemas. Barangkali kalau puisi itu diletakkan sepotong-sepotong saja, tak akan membentuk sebuah horison. Setangkup cakrawala,” urai sastrawan dan wartawan ini.
Lanjut Sihar, Isbedy memang kerap menebarkan sepotong demi sepotong puisinya. Di rubrik puisi koran. Di website. Di media sosial. Di buku kumpulan puisi bersama penyair lain.
“Tapi ketika puisi itu bertemu dengan puisi lainnya yang menyimpan berkas ruang dan waktu tentang Rawa Subur. Terlihat betapa puisi pun sanggup membentuk olahan yang lengkap.”
Puisi adalah jalan menangkap kini dan kenang, lanjut Sihar, ruang dan waktu, gagasan dan peristiwa yang deformatif.
“Pada karya Isbedy, kata itu bukan berupa kata lokal dan dalam bahasa daerah tapi bagaimana diksi dia saling menjalin, memisahkan diri atau berebut dominasi antara satu kata dengan yang lain. Dengan kearifan Isbedy, puisi tak lagi menyorot dirinya. Dia telah menjadi bagian dari elemen puitik tentang Rawa Subur,” urai Sihar. (LW)