Petani Singkong Merana, Budhi Condrowati Dorong Regulasi

Bandarlampung (LW): Petani singkong di Lampung merana. Pasalnya, harga singkong hingga pertengahan Desember 2024 ini tak sampai Rp1000, itu pun belum termasuk potongan, angkutan, pupuk, jasa tanam hingga perawatan. Padahal, 7 bulan lamanya para petani ini menghabiskan tenaga dan biaya untuk menanti hasil tanam yang mereka lakukan.

Namun, setelah panen raya harga singkong yang ditetapkan pengepul (pengusaha) jauh dari harapan.

Hal ini memantik emosi seorang Budhi Condrowati, Anggota DPRD Provinsi Lampung. “Saya ini seorang petani yang dipilih masyarakat sebagai wakil mereka di DPRD Lampung, dengan kondisi anjloknya harga singkong seperti ini keluhan hingga tangisan para petani tidak bisa dibendung,” kata Budhi Condrowati, Jumat (13/12/2024).

Dirinya juga menyoroti statement Pj Gubernur Lampung yang menyatakan bahwa kebijakan harga beli singkong dikembalikan ke kesepakatan yang dibuat Gubernur sebelumnya Arinal Djunaidi pada 2021 silam, saat itu kesepakatan minimal harga singkong Rp 900 rupiah. “Ini bukan solusi, karena seorang pemimpin harus bisa menjawab dan memberi solusi ketika terjadi suatu permasalahan di tengah masyarakat,” tegasnya.

Namun, dirinya tetap mengapresiasi pernyataan Pj Gubernur yang akan menaikan harga singkong di tahun 2025. “Tapi persoalan harga ini sudah lama menjadi keluhan masyarakat dan menurut saya tidak pas ketika mengacu aturan lama, mesti segera dibuatkan semacam kebijakan atau regulasi semisal pergub supaya memberi solusi atas tangisan para petani singkong ini,” ujarnya.

Anggota DPRD Lampung dari Dapil 6 (Tulangbawang, Tulangbawang Barat dan Mesuji) ini mengungkapkan, modal hingga hasil yang didapat petani singkong jauh dari kata kesejahteraan.

“Saya paham betul pendapatan para petani karena saya pelakunya. Misal kita tanam singkong seluas lahan 1 hektar, ketika panen mendapat sekitar 20 ton singkong. Lalu dari 20 ton singkong, saat dijual ke pengepul dipotong 4 ton itu sudah kebijakan pabrik, sisalah 16 ton, dari 16 ton ini dipotong lagi jasa angkutan Rp 100-200 perak perkilogramnya, kemudian jasa kuli angkut Rp 80 perak perkilogram, jadi penghasilan dari 1 haktar lahan Rp 11,9 juta belum dipotong modal,” jabarnya.

Jika dihitung dari modal tanam, lanjut Condro, mula-mula petani singkong melakukan koloting bonggol jasanya Rp 900 ribu per-hektar, lalu pembajakan tanah jasanya Rp 1,2 juta, jasa tanam Rp 900 ribu, kemudian jasa semprot rumput Rp 780 ribu setelah itu pupuk dari awal tanam hingga panen sekitar Rp 3,3 juta.

“Pendapatan bersih petani dari 1 haktar lahan jika dikali harga per-hari ini 970 perak hanya Rp 4.960.000 rupiah dibagi 7 bulan semasa tanam hingga panen. Pendapatan petani hanya Rp 700 ribu per-bulan, apakah cukup untuk kebutuhan keluarga dan biaya sekolah anak,” tambahnya.

Dirinya juga menyampaikan, hanya bertani yang bisa dilakukan warga di dapilnya, wajar saja mereka menangis menerima kenyataan yang tidak berpihak terhadap petani.

Dengan kondisi seperti itu, Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lampung ini khawatir minat bertani masyarakat Lampung bakal berkurang.

“Bagaimana generasi kita di Lampung ini mau bertani jika hasilnya tidak menguntungkan, saya khawatir ketika ini tidak segera dibikin kebijakan, maka generasi penerus petani akan habis, sebab hasil tani jauh dibanding hasil kerja di perusahaan,” ucapnya.

Sebagai wakil rakyat, dirinya berharap ketua DPRD Lampung mengadakan RDP besar melibatkan semua komisi khusus mencari solusi mengenai keberlangsungan harga singkong.

“Ini tidak bisa dibiarkan mengingat sebentar lagi natal dan tahun baru, ditambah lagi biaya anak sekolah. Maka saya minta ketua DPRD segera melakukan RDP besar mencari solusi ini dalam waktu dekat, harapan saya tidak menunggu hingga tahun depan,” tegasnya.

Anggota Komisi V itu mengaku akan terus berjuang hingga petani singkong di Lampung mendapat keadilan. “Saya akan perjuangkan ini terlebih Lampung merupakan salah satu wilayah penghasil singkong terbanyak se-Indonesia,” ucapnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *