Tanggamus (LW): Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren, terlebih dengan menggunakan dalih keagamaan sebagai modus untuk memperdaya korban, merupakan fenomena gunung es yang sulit terungkap apabila tidak ada keberanian dari pihak korban maupun pondok pesantren yang bersangkutan untuk menyelesaikannya secara hukum.
Hal ini ditegaskan Anggota DPR RI Taufik Basari saat melaksanakan giat sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Desa Way Jaha, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, 30 April 2023.
Dijelaskan Taufik, pada tahun 2019, Kementerian Agama melalui Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag menggelorakan semangat anti kekerasan seksual, terutama di wilayah Perguruan Tinggi.
Aturan dari Kemenag ini sangat komprehensif, bahkan sampai mengatur tentang standar prosedur operasional (SPO) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bahkan sebelum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan lahirnya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada tahun 2022.
“Namun, amat disayangkan Kemenag belum memiliki instrumen serupa untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual ditingkat pendidikan dibawahnya,” ucap Taufik.
Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, lanjut Taufik, hanya terdapat satu pasal yang secara khusus berbicara tentang hak anak, yakni Pasal 28B Ayat (2). Di dalamnya disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pengaturan ini menjadi penting sebab menjadi landasan dari diterbitkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Apabila UU Perlindungan Anak menjamin pelaksanaan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945, maka UU Pengadilan Anak secara khusus mengatur tentang tata cara menghadapi anak yang berkonflik dengan hukum.
“Terkait kasus KS di pondok pesantren, saya mendorong Komnas Perempuan sebagai institusi yang dimandatkan negara untuk menangani kasus tersebut agar memberikan pendampingan bagi pihak Kemenag maupun lembaga pendidikan keagamaan setara SD-SMP-SMA yang berbasis agama untuk memiliki pedoman pencegahan dan penanganan KS, sebagaimana yang mereka lakukan ketika penggodokan SK Dirjen Pendis dilakukan,” jelasnya.
Politisi NasDem ini mengaku sama sekali tidak mendukung adanya restorative justice terhadap pelaku kekerasan seksual. Ini adalah sikap. Menurutnya, tindakan kekerasan seksual, apapun itu bentuknya dan terlebih jika dilakukan secara fisik, memiliki dampak yang sangat besar bagi kesehatan mental dan keberlangsungan hidup korban selanjutnya.
“Saya mengikuti bentuk kasus pelecehan seksual yang menimpa pelajar kelas 2 MTs di Desa Banjarsari dengan pelaku yang berusia 39 tahun itu. Benar seperti yang dikatakan bahwa sangat disayangkan Pj Kepala Desa Banjarsari malah memfasilitasi adanya perdamaian antara korban dengan pelaku yang kabur. Anehnya perjanjian damai tersebut tidak dilakukan secara langsung oleh korban, melainkan diwakili oleh kakak korban. Ini bukan preseden yang baik bagi penerapan restorative justice di Indonesia,” tegasnya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan rapat kerja maupun kunjungan kerja bersama Kepolisian Republik Indonesia, dirinya selalu menegaskan penerapan RJ dalam kasus KS tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 28B Ayat (1) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (LW)