Harmonisasi Hukuman Kebiri Kimia Bagi Predator Seksual Anak 

 

Oleh

Muhammad Khadafi Azwar

BERBAGAI strategi telah diupayakan pemerintah untuk menanggulangi kekerasan seksual pada anak. Pada bulan Mei 2016, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) ditandatangani oleh Presiden Jokowi, dan pada bulan Oktober 2016 Perppu tersebut kemudian disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan Pasal 81 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikenakan hukuman kebiri kimia. Kebiri kimia adalah penyuntikan zat anti testosteron ke tubuh pria untuk menurunkan kadar hormon testosteron, yang sebagian besar diproduksi lydig di dalam buah zakar. Testosteron adalah hormon yang berperan dalam beragam fungsi, salah satunya fungsi seksual. Artinya, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau hasrat seksual.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 dapat diketahui bahwa tujuan penambahan ketentuan mengenai tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi adalah untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto No.69/Pid.Sus/2019/PN.Mjk merupakan putusan pertama yang isinya memerintahkan penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi Terpidana M. Aris, setelah selesai menjalani pidana penjara. Namun, di sisi lain, sampai saat ini putusan tindakan kebiri kimia belum satupun terlaksana, bahkan menuai kritik termasuk dari aliansi profesi, terkait dampaknya terhadap terpidana, hak dasar terpidana yang rentan terlanggar, dan siapa pihak yang akan melakukan eksekusinya?

Mengingat hukuman kebiri kimia belum dapat dilaksanakan hingga saat ini, maka ketentuan kebiri kimia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 perlu diharmonisasi. Salah satu aspek pengharmonisasian tersebut ditinjau dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni “asas dapat dilaksanakan”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Sehubungan dengan “asas dapat dilaksanakan” pemerintah dan DPR perlu melakukan harmonisasi terkait teknis pelaksanaan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Tindakan kebiri kimia merupakan respon negara yang dinantikan oleh masyarakat pencari keadilan yang terdampak oleh kasus kejahatan seksual terhadap anak. Namun demikian, terobosan dalam penegakan hukum perlindungan anak ini perlu didasarkan pada pengujian dan penilaian yang menyeluruh baik dari segi medis, psikologis, dan hukum sebagai upaya mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kebiri kimia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *