Penambangan Ilegal Masih Marak, ini Kata Komisi IV

Bandarlampung (LW): Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Lampung, Joko Santoso menyoroti aktivitas penambangan ilegal yang masih terjadi di Provinsi Lampung, khususnya Kota Bandarlampung.

Menurutnya, Bandarlampung memang memiliki potensi alam berupa batu dan pasir yang bisa jadi komoditas pertambangan. Namun, kata dia, pemanfaatannya harus sesuai regulasi yang ada.

“Pemprov Lampung harus segera menertibkan tambang yang belum punya izin lengkap ini. Agar tidak terus-terusan merusak lingkungan atau bahkan membahayakan masyarakat sekitar. Masyarakat jadi resah karena aktivitas penambangan itu, karena bisa mengakibatkan banjir, longsor dan debu yang mencemari udara,” ujar politisi PAN itu, Senin (15/3).

Senada, Sekretaris Komisi IV DPRD Provinsi Lampung Kostiana mengatakan, dalam waktu dekat, ia berencana membahas hal tersebut dengan anggota Komisi IV DPRD Lampung. “Kami akan turun langsung ke lapangan untuk mengecek aktivitas penambangan ilegal ini. Jadi ini sebagai upaya menindaklanjuti laporan masyarakat yang sudah masuk,” tegas Kostiana.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat setidaknya ada empat lokasi tambang batu dan pasir tak berizin di Bandarlampung.

Pertama, berada di Kunyit Kelurahan Bumi Waras, Kecamatan Bumi Waras. Kedua, berada di Bukit Kedaung, Tirtayasa Sukabumi. Ketiga berada di Bukit Balau, Sukabumi. Keempat, berada di Gunung Perahu atau Bukit Onta di Jalan Harimau 4, Kelurahan Sukamenanti.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri, sejauh yang diketahuinya, saat ini hanya tiga perusahaan yang mengantongi izin mengeruk bukit yaitu CV Budi Wirya, PT Ganda Pahala Tara Perkasa dan CV Sari Karya.

“Selain dari tiga itu banyak juga yang ilegal, tidak punya izin. Pintarnya mereka biasanya yang punya lahan, misalnya bukit akan dijadikan perumahan mau tidak mau dia pasti akan melakukan penambangan tapi dalih dia aktivitas yang dilakukannya itu bukan penambangan melainkan land clearing jadi dia tidak mau mengurus izin,” ujar Irfan, belum lama ini.

Irfan juga menyebutkan jika rata-rata yang terjadi adalah seperti itu dan tambang-tambang ilegal tersebut ada juga yang bentukan dari masyarakat setempat.

“Nanti bagi hasil sekian banyak dengan yang punya lahan atau bagaimanalah bentukannya. Yang punya lahan ini dapat dua keuntungan. Yang pertama, dia mendapatkan keuntungan bernilai ekonomi karena menjual material tambang itu dan yang kedua, nilai jual tanahnya juga meningkat,” tambahnya.

Terpisah, LBH Bandarlampung meminta aparat penegak hukum menindaktegas aktivitas dugaan penambangan ilegal tersebut.

Direktur LBH Bandarlampung, Chandra Muliawan menyatakan, selain berdampak terhadap kerusakan lingkungan, tambang ilegal juga menyebabkan korban jiwa, seperti yang terjadi pada 26 Juli 2020 silam.

Teranyar adalah makin rusaknya lingkungan dan jalan akibat aktivitas pemotongan bukit, pengerukan bahan galian C di Bukit Campang Raya yang sudah sangat mengkhawatirkan.

Menurut Chandra, ancaman kerusakan lahan perbukitan sangat serius dan dapat memicu dampak lain pasca kerusakan lingkungan seperti jalan yang rusak parah akibat mobilitas angkutan bahan galian C dengan truk Colt Diesel dari Jalan Alimuddin Umar kelurahan Campang Raya Kecamatan Sukabumi.

Walaupun beberapa pihak mengklaim aktivitas tersebut sudah memiliki izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung. Namun, kata dia, hal tersebut perlu ditinjau ulang karena saat ini kewenangan untuk penerbitan izin dimiliki oleh Pemprov Lampung. “Jika memang sudah memiliki izinpun wajib memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sekitar,” ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, apabila tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan, maka aktivitas tersebut jelas suatu tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Di dalamnya telah dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)” tegas Chandra.

LBH Bandarlampung juga mendesak pihak Kepolisian untuk mengusut dan menyelidiki aktivitas penambangan di lokasi tersebut.

“Sebab, aktifitas di wilayah itu secara komprehensif berpotensi adanya tindak pidana lingkungan yakni telah mencemarkan udara, berubahnya bentang alam, hilangnya Kawasan resapan air, bahkan sampai adanya korban jiwa akibat aktivitas tersebut,” tukasnya. (LW)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *