Jakarta (LW): Komite II DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kegiatan RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin tersebut, merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat yang saat ini dilaksanakan oleh anggota Komite II terhadap dampak dari usulan RUU tentang Cipta Kerja.
Bustami Zainudin mengatakan, berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dihimpun oleh Komite II DPD RI, terdapat beberapa permasalahan terkait dengan draf RUU Cipta Kerja bidang ESDM.
“Diantaranya, RUU Cipta Kerja menambah satu ayat yakni ayat (4) pada Pasal 134 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terkait dengan penyelesaian tumpang tindih antara kegiatan pertambangan dengan kawasan hutan, rencana tata ruang, Perizinan Berusaha/Persetujuan, dan/atau hak atas tanah yang diatur dengan Perpres. Tidak ada gambaran tentang sektor mana yang akan diberi prioritas dan alasannya, yang dapat menyiratkan ketidadaan jaminan kepastian hukum,” jelasnya.
Lanjutnya, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi) hanya dengan menambahkan frasa “Pelaku Usaha pemanfaatan langsung atau pelaku usaha Panas Bumi” dalam pembukaan kalimat. Namun tetap alpa mencantumkan secara eksplisit masyarakat hukum adat sebagai pihak yang tanah ulayatnya sebagian atau seluruhnya, akan digunakan oleh pelaku usaha. Kealpaan ini dapat diartikan bahwa perumus RUU tidak memahami esensi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 terkait pengakuan masyarakat hukum adat.
“Kemudian, RUU Cipta Kerja hanya mengganti frasa “pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik” dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) dengan frasa “pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik”. Yang tetap menjadi masalah adalah ketidakjelasan pengaturan tentang kompensasi sebagai akibat penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha, yang tidak disebutkan rambu-rambunya dalam RUU dengan hanya menyerahkan pengaturan selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah,” terangnya. (*)