Komite II DPD RI Godok RUU Ciptaker Bidang Transportasi

Jakarta (LW): Dalam rangka menindak lanjuti dari kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait dampak dari usulan RUU tentang Cipta Kerja, Komite II DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) bidang Transportasi (7/7).

Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin serta dihadiri Pakar dan Masyarakat Transportasi Indonesia Fifiek Woleandara Mulyana, pengajar Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno dan Muslih Zainal Asikin selaku presidium masyarakat transportasi indonesia tersebut, membahas tentang permasalahan umum dari draf RUU Cipta Kerja bidang Transportasi.

Wakil Ketua Komite II DPD RI Bustami Zainudin mengatakan, RDPU Komite II ini merupakan tindak lanjut dari aspirasi masyarakat terhadap dampak dari RUU Cipta Kerja Bidang Transportasi yang berusaha mengkompilasi mulai dari UU Penerbangan, Pelayaran, Lalu Lintas Angkutan Jalan juga Perkeretaapian.

‘’Kita lihat RUU Cipta Kerja Bidang Transportasi ini seperti evaluasi terhadap sistem desentralisasi, saat lihat belum secara komprehensif dilakukan oleh negara. Dalam bidang transportasi ini tidak semua masalah regional terutama masalah perizinan, baik izin berusaha izin transportasi lainnya harus terkonsentrasi ke pusat, pusat cukup menjadi pengawas, dan memberikan pembinaan,’’ ujar Bustami yg merupakan Senator asal Lampung itu.

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dihimpun oleh Komite II DPD RI, menurutnya terdapat beberapa permasalahan terkait dengan draf RUU Cipta Kerja bidang Transportasi.

Diantaranya, RUU Cipta Kerja mengembangan konsep yang dikenal dengan istilah ”Perizinan Berusaha”. Pengaturan tentang Perizinan Berusaha ini secara langsung telah mengatur dan menata ulang kembali hubungan vertikal pusat dan daerah, yang dalam kasus ini seluruh kewenangan daerah ditarik kepada pemerintah pusat. Seperti kita tahu bahwa kewenangan Pemerintah Daerah telah diatur pada Undang Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

“Setidaknya terdapat 4 (empat) Undang-Undang berkaitan langsung bidang transportasi/perhubungan yang dirubah atau disesuaikan yang menurut hemat kami, penyesuaian tersebut hanya menghilangkan kewenangan daerah,” ucapnya.

Undang Undang tersebut ialah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Per keretaapian.

Sebagai contoh kasus, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana: Pencabutan Pasal 215 tentang Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah; dan Pencabutan Pasal 253 Ayat 2 tentang Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.

Kebijakan penyederhanaan perizinan ini, kami pandang bukanlah kebijakan yang better-off melainkan akan membuat worse-off karena dalam konteks otonomi daerah dimana peranan daerah secara sistematis telah tereliminasi, akibat dari konsep perizinan berusaha dalam RUU Cipta Kerja.

Sementara, Pakar Transportasi Muslih Zainal Asikin mengungkapkan, RUU Cipta Kerja Bidang Transportasi kembali ke zaman sebelum reformasi, kasarnya zaman reformasi menghasilkan konsep otonomi yang sudah berjalan 20 tahun kemudian ditarik kembali. Seharusnya pusat cukup melakukan pembenahan dan pembinaan terhadap daerah dengan pembinaan SDM.

‘’Ini akan sulit karena berkaitan dengan arah pembagian kekuasaan kalau semua ditarik ke pusat. Contohnya uji kendaraan KIR dan sebagaimana mengapa harus sampai ke pusat, era sudah profesionalisme cukup di daerah juga mampu dibuka peluang bagi daerah untuk memiliki fasilitas dan negara mensertifikasi, kemudian masalah jembatan timbang cukup gunakan teknologi informasi dengan memasang sensor di jalan, begitupula izin usaha lainnya. Kurangnya RUU Cipta Kerja justru memperumit sesuatu yang seharusnya mudah, hal yang lokal akan menjadi boros jika harus diurus ke pusat,’’ kata Muslih.

Senada, Pakar Transportasi lainnya Djoko Setijowarno mengungkapkan bahwa perlu mempermudah perizinan di sektor transportasi. ‘’Pada intinya aturan hukumnya menyoroti kenapa ini ditarik ke pusat padahal banyak moda transportasi lingkup daerah yang tidak perlu dimintakan ijin ke pusat cukup di daerah,’’ cetusnya.

Sedangkan Fifiek Mulyana menyoroti izin berusaha yang akan ditarik kembali ke pusat. ‘’UU sekarang ini, yaitu Izin Penyelenggaraan Orang Dalam Trayek, Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, Angkutan Barang Khusus/Alat Berat dulu ke pemda sekarang harus mengajukan perizinan ke pusat, baik perpanjangan maupun baru, yang tadinya bisa dilakukan di tingkat provinsi dan kabupaten kota,’’ ucapnya. (*/LW)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *