Lampungway.com. Hati-hati! Inilah Gejala dan Efek Jangka Panjang Terkena Gas Air Mata Saat Demo. Kerusuhan pecah di sekitar Gedung DPR pada Selasa (24/9/2019) dan berlanjut pada Rabu (25/9/2019). Untuk mengendalikan massa, polisi pun menembakkan gas air mata ke arah kerumunan pelajar yang berdemo.
Akibat paparan gas air mata tersebut, salah seorang siswa SMK Sumpah Pemuda harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat RS Pelni, Petamburan.
Kepala pelajar tersebut terkena tembakan gas air mata dan robek. Namun tidak hanya luka robek saja, gas air mata bisa menyebabkan sesak napas, lemas hingga pingsan, seperti yang dialami para mahasiswa dalam demo kemarin dan hari ini.
Demonstrasi tengah berlangsung di beberapa kota di Indonesia, termasuk Jakarta. Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan unjuk rasa untuk memprotes pengesahan sejumlah RUU yang menuai polemik.
Sorotan mahasiswa terutama tertuju untuk menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Mahasiswa juga menolak pengesahan RUU Pertanahan yang dianggap terlalu menguntungkan korporasi serta RUU Pemasyarakatan yang dinilai menguntungkan koruptor dalam mendapatkan remisi.
Selain itu, mahasiswa juga menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.
Gejala Terkena Gas Air Mata
Gejala gas air mata pada umumnya meliputi rasa perih dan terbakar pada membran mata, hidung dan paru-paru; produksi air liur, air mata dan ingus berlebih; serta sesak napas, sakit kepala dan mual.
Namun, beberapa jenis gas air mata, misalnya oleoresin capsicum (OC) yang biasa dikenal sebagai semprotan merica, bisa bercampur dengan air, keringat atau minyak dan berubah menjadi cairan asam yang menyakitkan.
Gas air mata yang terbawa angin juga bisa sampai ke pemukiman warga di sekitar area kericuhan dan menganggu kenyamanan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efek dari gas air mata, terutama efek jangka panjangnya. Dilansir dari Gizmodo, 14 Agustus 2014, gas air mata sebetulnya dirancang hanya untuk bekerja sementara waktu dan menghilang tanpa efek permanen.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam Toxicological Reviews pada 2013 mencapai konklusi bahwa “tidak ada bukti kalau individu yang sehat akan mengalami efek kesehatan jangka panjang dari paparan CS (senyawa 2-chlorobenzalmalononitrile dalam gas air mata) di ruang terbuka”.
Efek Terkena Gas Air Mata
Ada beberapa kasus efek terkena gas air mata dapat meninggalkan efek permanen terutama saat dalam demonstrasi seperti yang terjadi di Mesir pada 2013, 37 orang meninggal karena sesak napas setelah gas air mata dilepaskan di dalam kendaraan mereka.
Laporan untuk demonstrasi yang sama juga mengungkapkan adanya korban-korban yang menjadi buta, luka parah atau meninggal karena terkena tembakan gas air mata dari jarak dekat.
Paparan gas air mata yang berlebihan juga dapat menyebabkan luka bakar pada kulit, dan bila terkena mata bisa menyebabkan kebutaan.
Lalu, pada orang-orang dengan penyakit asma, gas air mata bisa memicu gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan panjang.
Sven-Eric Jordt, seorang profesor farmakologi dari Yale University School of Medicine yang mempelajari cara kerja gas air mata secara neurologis, berkata bahwa ada cukup banyak contoh di mana orang-orang mengalami luka bakar parah yang diakibatkan oleh paparan gas air mata, terutama di ruang tertutup atau di jalanan yang kanan kirinya gedung-gedung tinggi.
“Warga yang hidup di sekitar Tahir Square di Kairo yang mendapat banyak gas air mata telah mengalami paparan jangka panjang, yang menyebabkan masalah pernapasan. Paparan jangka panjang sangat bermasalah,” ujarnya.
Studi di Turki Dalam wawancara dengan The Cut, 21 Agustus 2014, Jordt berkata bahwa tidak banyak studi yang mempelajari efek jangka panjang gas air mata terhadap individu atau sekelompok manusia.
Pasalnya, hanya ada sedikit orang yang terpapar dan terpengaruh oleh gas air mata untuk jangka waktu lama. Namun, sekelompok dokter dari Turki telah berhasil melakukan studi efek jangka panjang terhadap 93 orang yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal.
Dipublikasikan dalam The Scientific World Journal pada 2014, tim peneliti mengikuti 93 subyek dari latar belakang yang beragam, mulai dari karyawan, guru, siswa, jurnalis dan aktivis poltik, yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal.
Mereka lantas membandingkannya dengan 55 orang yang memiliki riwayat kesehatan serupa dan latar belakang beragam, tetapi tidak pernah terpapar gas air mata.
Para partisipan diminta untuk mengisi kuesioner tentang jumlah paparan yang mereka alami selama dua tahun terakhir, tipe gas air mata, jarak dari sumber gas air mata dan riwayat penanganan usai terpapar gas air mata.
Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang lebih banyak terpapar gas air mata lebih sering mengalami batuk berdahak selama lebih dari tiga bulan.
Mereka juga 2-2,5 kali lipat lebih sering mengalami sesak di dada, dispnea atau sesak napas, batuk pagi hari saat musim dingin dan dahak.
Partisipan yang lebih sering terpapar gas air mata daripada orang normal juga melaporkan kejadian yang lebih sering untuk hidung berair, mata berair dan dermatitis daripada kelompok yang tidak terpapar, meskipun perbedaan kedua kelompok tidak terlalu signifikan.
Para peneliti pun mengonklusikan paparan gas air mata berulang yang berlebihan atau lebih sering daripada umumnya dapat meningkatkan keluhan pernapasan dan meningkatkan risiko terkena bronkitis kronis.
Penanganan Terkena Gas Air Mata
Banyak orang beranggapan bahwa odol (pasta gigi) dapat membantu menghalau gas air mata. Odol pun kerap digunakan para demonstran ketika tengah turun ke jalanan. Apakah hal tersebut benar?
Dokter mata dari Jakarta Eye Center (JEC) dr Florence Meilani Manurung, Sp.M (K) angkat bicara. “Odol tidak bisa ya menghalau gas air mata. Gas air mata itu kan semprotan yang membuat mata perih, berair, kemudian menutup. Tapi (odol) tidak bisa (mencegah),” tuturnya seperti yang dilansir dari Kompas.com, Selasa (24/9/2019).
Penggunaan odol, lanjut dr Florence, mungkin hanya digunakan untuk mendinginkan kelopak mata. Namun langkah itu pun menurutnya tidak tepat. “Yang ada malah bahaya kalau odol masuk mata,” tambahnya.
Lalu bagaimana penanganan yang benar jika terkena gas air mata? “Pertama, disiram dan dibersihkan. Pakai air bersih seperti air mineral. Mata dan seluruh wajah. Jadi daripada bawa odol, lebih baik bawa air mineral,” tuturnya. Kedua adalah menggunakan kacamata pelindung, seperti kacamata hitam. “Langkah preventifnya lebih baik bawa kacamata pelindung,” tambah dr Florence.
Sejarah Gas Air Mata, Jadi Senjata Sejak Perang Dunia I
Agustus 1914, para tentara Perancis menembakkan granat berisi gas kepada prajurit Jerman di kawasan perbatasan. Perang yang disebut sebagai “Battle of the Frontiers” itu menjadi momen di mana gas air mata digunakan di berbagai belahan dunia.
Granat berisi gas tersebut merupakan buah karya ahli kimia Perancis. Tujuan dibuatnya granat tersebut adalah untuk mengendalikan huru-hara, dan tujuan tersebut tidak berubah sampai saat ini, seperti yang dilansir dari situs berita The Atlantic yang mengatakan bahwa granat berisi gas tersebut digunakan untuk membuat mundur barikade.
Gas tersebut menimbulkan beragam reaksi seperti sakit mata, masalah pernafasan, iritasi kulit, pendarahan, bahkan kebutaan. Granat berisi gas tersebut kemudian dikenal sebagai tear gas (gas air mata), atau lachrymator.
Situs Encyclopedia Britannica mengatakan bahan utama dalam gas air mata adalah halogen sintetis, cairan yang bisa ditembakkan lewat beberapa senjata seperti granat dan spray.
Semenjak ditemukan, keberadaan gas air mata menjadi “musuh” bagi para tentara. Hampir bisa dipastikan para tentara akan meninggalkan pimpinan dan jenderalnya saat ditembakkan gas air mata. Adalah Amos Fries, pemimpin dari Chemical Welfare Service US Army mengembangkan teknologi agar gas air mata bisa digunakan tak hanya di medan perang.
Dia pula yang membayar pengacara dan pebisnis untuk membuat pasar komersial gas air mata dan mempublikasikannya lewat media massa. “Lebih mudah dihadapkan dengan peluru dibanding dengan gas yang tak kasat mata,” begitu katanya saat itu.
Kini, gas air mata hampir selalu digunakan oleh pihak berwenang untuk meredakan demonstrasi. Semua itu dimulai usai Perang Dunia I berakhir.
Salah satu produsen gas air mata terbesar dan tertua adalah Lake Erie Chemical Company, yang didirikan oleh veteran Perang Dunia I bernama Kolonel Byron “Biff” Goss.
Sejak pertama kali dibuka pada 1930-an, Lake Erie Chemical Company menjual gas air mata pada pada beberapa negara seperti Argentina, Bolivia, dan Kuba. Pada Perang Dunia II, penggunaan gas air mata berlanjut.
Gas tersebut digunakan oleh Italia saat melawan Ethiophia. Tentara Spanyol menggunakannya di Maroko, sementara Jepang menggunakan gas tersebut untuk melawan China.
Di Vietnam, tentara AS menembakkan gas air mata pada terowongan-terowongan Viet Cong. Sebaliknya, di AS, para demonstran Vietnam juga menghadapi bertubi-tubi gas air mata.
Selama dua dekade belakangan, penjualan gas air mata bertambah pesat. Gas ini digunakan dalam demonstrasi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Selama lebih dari 100 tahun ditemukannya gas air mata, belum ada pengganti yang dinilai efektif untuk menghalau massa. Padahal, Amnesty International memasukkan gas air mata sebagai bagian dari barang perdagangan internasional yang membahayakan.